350.org: Indonesia Harus Tetap Berkomitmen pada Iklim Meski AS Keluar dari Perjanjian Paris

Terbarukan.com, Jakarta – 350.org Asia menyampaikan keprihatinan atas pernyataan terbaru pejabat Indonesia terkait keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris dan dampaknya terhadap transisi energi di Indonesia.
Utusan khusus Indonesia untuk perubahan iklim dan energi, Hashim Djojohadikusumo, menyebut bahwa Perjanjian Paris ‘tidak lagi relevan’ bagi Indonesia setelah keputusan Presiden Trump untuk menarik AS dari kesepakatan tersebut. Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa situasi ini menempatkan transisi energi Indonesia dalam ‘dilema besar’.
Kritik 350.org: Indonesia Jangan Mundur dari Komitmen Iklim
Menurut Sisilia Nurmala Dewi, Team Lead 350.org Indonesia, sikap Indonesia yang mempertanyakan relevansi Perjanjian Paris merupakan kemunduran dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
“Pernyataan bahwa Perjanjian Paris tidak lagi relevan bagi Indonesia sangat mengkhawatirkan. Ini bertentangan dengan realitas ilmiah dan komitmen iklim nasional. Bahkan, proyeksi pemerintah sendiri menunjukkan bahwa Indonesia bisa mengalami kerugian ekonomi hingga 40% dari PDB pada 2050 akibat dampak perubahan iklim. Pernyataan ini melemahkan satu-satunya kerangka kerja global yang ada untuk menangani perubahan iklim,” jelas Sisilia.
Ia menyoroti bahwa Indonesia semakin rentan terhadap bencana iklim, seperti gelombang panas ekstrem dan badai tropis yang semakin sering terjadi. Selain itu, sikap pemerintah yang tampak condong pada industri batu bara dan kelapa sawit menunjukkan keengganan untuk mengakui tren global yang mulai meninggalkan bahan bakar fosil.
“Alih-alih mempertanyakan peran Perjanjian Paris, pemerintah seharusnya melihat potensi energi terbarukan Indonesia yang melimpah sebagai peluang ekonomi besar. Dengan mempertanyakan kerja sama multilateral, pemerintah justru menunjukkan bagaimana kepentingan industri fosil dapat menghambat aksi iklim yang sangat diperlukan serta transformasi ekonomi,” tambahnya.
Perubahan Iklim Global dan Peran Indonesia
Norly Mercado, Direktur Regional 350.org Asia, menekankan bahwa perubahan iklim semakin nyata dan Indonesia seharusnya tidak mundur dari komitmen global hanya karena keputusan politik AS.
“Tahun lalu, suhu global mencapai rekor tertinggi dan melampaui batas 1,5°C untuk pertama kalinya. Ini berdampak besar pada negara-negara rentan terhadap iklim di Asia, termasuk Indonesia, yang mengalami gelombang panas ekstrem dan badai tropis yang semakin intens,” kata Norly.
Secara global, Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar ketiga di dunia dan penyumbang emisi karbon terbesar ketujuh dari pembakaran bahan bakar fosil. Menurut Norly, Indonesia tidak bisa berlindung di balik keputusan AS untuk menghindari tanggung jawabnya sendiri dalam mengurangi emisi.
Selain itu, pada pertemuan G20 dan COP29 tahun lalu, Presiden Prabowo Subianto telah berkomitmen untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dalam 15 tahun ke depan dan membangun tambahan 75 GW energi terbarukan. Janji ini sangat penting, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi Asia secara keseluruhan.
Kesempatan bagi Indonesia untuk Memimpin Transisi Energi
Menteri Bahlil Lahadalia sebelumnya menyebut bahwa keluarnya AS dari Perjanjian Paris menempatkan Indonesia dalam ‘dilema’ terkait transisi energi. Namun, 350.org menilai bahwa ini bukan dilema, melainkan peluang besar bagi Indonesia.
Sebagai anggota baru BRICS, Indonesia memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepemimpinannya dalam aksi iklim dengan mendesak negara-negara maju untuk memenuhi komitmen pendanaan transisi energi.
“Indonesia dapat memanfaatkan dana publik yang sebelumnya dialokasikan untuk subsidi bahan bakar fosil dan mengalihkannya ke pengembangan energi terbarukan. Dengan potensi besar dalam energi matahari dan angin, serta semakin terjangkaunya teknologi energi bersih, Indonesia dapat mencapai kemandirian energi. Namun, ini hanya bisa terjadi jika Indonesia menolak terus bergantung pada bahan bakar fosil, yang kini bukan lagi opsi yang layak atau dapat diterima, siapa pun presiden AS yang sedang menjabat,” jelas Norly.
Kesimpulan: Indonesia Harus Tetap pada Jalur Transisi Energi Bersih
Indonesia tidak boleh menggunakan keputusan AS sebagai alasan untuk mundur dari komitmen iklim global. Dengan potensi energi terbarukan yang besar dan semakin murahnya teknologi hijau, Indonesia memiliki kesempatan untuk memimpin transisi energi di Asia dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Keputusan untuk tetap berada dalam Perjanjian Paris dan mempercepat pengurangan emisi karbon bukan hanya tentang tanggung jawab global, tetapi juga untuk keberlanjutan ekonomi nasional. Jika pemerintah serius dalam membangun masa depan yang lebih hijau, maka saatnya beralih dari ketergantungan pada batu bara dan fokus pada energi bersih sebagai solusi jangka panjang. (*)